Beberapa Bentuk Kesulitan yang Dialami Daulah Nabawiyah (min Kitab Daulah Nabawiyyah)
بسم الله الرحمن الرحيم
Oleh : Asy Syahid Asy Syaikhul Mujahid Abu Hamzah al Muhajir –rahimahuLLohu Ta’Ala-
Lihatlah, kehidupan para sahabat yang mulia dalam Daulah Nabawiyah adalah kehidupan yang dipenuhi rasa takut, khawatir, dan selalu waspada, terutama pada periode perintisan pertama dan masa-masa banyaknya ujian. Dalam Shahih Bukhari, ada riwayat dari Anas radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia terbaik, paling dermawan dan paling pemberani.” Ia melanjutkan, “Penduduk Madinah merasa ketakutan pada suatu malam ketika mereka mendengar sebuah suara.” “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menemui mereka dengan menunggang kuda milik Abu Thalhah tanpa pelita sambil membawa sebilah pedang.” Beliau bersabda, “Jangan takut, jangan takut.”[1] Kemudian beliau bersabda lagi, “Hanya suara seekor kuda.”
Larinya para sahabat karena sebuah suara karena rasa takut yang menyelimuti mereka membuktikan bahwa mereka lari hanya karena sedikit bahaya yang mengancam, meskipun baru sekadar kemungkinan, seperti suara batu yang terjatuh dari puncak bukit. Sekarang ini, suara itu menyerupai suara-suara dentuman ledakan yang ditimbulkan musuh –semoga Allah menjauhkannya-.
Demikianlah umat dalam keadaan perang dan dekat dengan musuh dan kemungkinan akan adanya serangan kapanpun waktunya, maka seharusnya mereka mewaspadai bahaya tersebut dan jangan pura-pura tidak tahu. Al-Mulhab rahimahullah mengatakan, “Namun ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melihat ketakutan yang mengancam, beliau tahu bahwa beliau tidak akan terkena makar musuh. Hal itu ketika Allah memberi tahu beliau dalam firman-Nya,
وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ
(Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia[2]). Selesai perkataan Al-Mulhab.
Di sini ada faidah penting bagi seorang amir atau imam (pemimpin). Ibnu Baththal berkata, “Seorang imam tidak boleh dermawan dengan dirinya sendiri dan seharusnya ia pelit dengan dirinya sendiri karena sikapnya itu demi teraturnya kaum Muslimin dan demi menyatukan mereka.”
Ketika baru tiba di Madinah Nabi bersusah payah dalam menjaga diri sendiri menjaga kewaspadaan dari musuh dan demi melakukan sebab, sampai turun firman Allah Ta’ala, (Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia[3]).
Dalam Shahih Bukhari, ada riwayat dari Aisyah radhiyallahu 'anha, dulu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah begadang. Ketika tiba di Madinah beliau bersabda, “Duhai seandainya ada seorang sahabatku yang shalih menjagaku malam ini.” Tiba-tiba kami mendengar suara senjata. Beliau bersabda, “Siapa ini?” “Saya Sa’ad bin Abi Waqqash datang untuk menjaga Anda.” Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidur. Dalam riwayat lain, “Sampai kami mendengar suara dengkuran beliau.”
Dalam Sunan An-Nasai disebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam baru tiba di Madinah begadang di waktu malam. Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berlelah-lelah karena melakukan penjagaan. Tidak bisa merasakan nyenyaknya tidur, sampai berangan-angan ada orang yang menjaga beliau. Itu terjadi tidak lain karena tingginya kewaspadaan dan kehati-hatian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan sebaik-baik penjaga, meskipun sangat kelelahan, ketika mendengar suara senjata di waktu malam, beliaupun bangkit dan mencari tahu sumber suara tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan, “Dalam hadits terdapat perintah untuk waspada dan berjaga-jaga dari serangan musuh. Hendaknya orang-orang menjaga pimpinan mereka khawatir terbunuh. Dalam hadits juga terdapat pujian kepada orang yang rela berbuat baik dan dinamakan sebagai orang shalih. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghadapi kejadian itu, meskipun beliau sangat tinggi ketwakalannya. Hal itu agar kita bisa mencontoh beliau dalam hal itu. Beliau juga pernah memakai baju besi, padahal ketika situasi genting beliau selalu berada di barisan terdepan. Juga, tawakkal tidak menafikan mengambil sebab, karena tawakkal adalah amalan hati sedangkan memakai baju besi adalah amalan badan.” Selesai perkataan Al-Hafizh.
Dalam hadits-hadits terdahulu banyak sekali faidah yang bisa kita petik. Yang paling penting ada dua faidah.
Pertama, dalam perkataan Anas radhiyallahu 'anhu, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menemui mereka dengan menunggang kuda milik Abu Thalhah tanpa pelita sambil memegang pedang.” Hadits tersebut menjelaskan dengan gamblang sejauh mana kesiapsiagaan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam untuk berperang dan dalam tempo yang sesingkat mungkin. Senjata dan peralatan perang beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berada di tempat penyimpanan yang jauh, bahkan beliau selalu menenteng senjatanya atau dekat dengan beliau. Beliau orang yang paling cepat menyambut suara bahaya dan paling siap menghadapinya.
Para ulama berpengaruh dalam Madzhab Syafi’i berpendapat wajibnya membawa senjata dan haramnya menyingkirkannya apa lagi membuangnya ketika ada ketakutan dari serangan musuh. Hukum itu semakin kuat jika jihad hukumnya fardhu ‘ain. Allah Ta’ala berfirman,
(وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً ) .
“Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus.”[4]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Perintah menenteng senjata dalam shalat khauf, menurut sekelompok ulama hukumnya wajib berdasarkan zhahir ayat. Ini salah satu dari dua pendapat Syafi’i. Yang menunjukan hal itu adalah firman Allah Ta’ala,
(وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَى أَن تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ )
“Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu.”[5]
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Para pengikut Madzhab Zhahiri mengatakan, “Membawa senjata dalam shalat khauf hukumnya wajib berdasarkan perintah Allah, kecuali bagi orang yang kesusahan karena hujan. Jika seperti itu ia boleh meletakkan senjatanya.” Ibnul ‘Arabi mengatakan, “Jika para sahabat shalat mereka membawa senjata ketika dalam keadaan takut.” Ini pendapat Syafi’i dan ini sama dengan teks Al-Qur’an.” Selesai perkataan Al-Qurthubi rahimahullah.
Dari perkataan Ibnul ‘Arabi di atas sangat jelas terlihat bahwa wajibnya membawa senjata itu ketika ada ketakutan dari serangan musuh secara umum baik dalam shalat atau di selain shalat, yang terakhir ini lebih wajib lagi. Karena membawa senjata dalam shalat, tidak diragukan lagi, menimbulkan sedikit gerakan tambahan. Di dalamnya juga ada kesulitan, namun demi berjaga-jaga dari serangan musuh hal itu menjadi wajib.
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Ini menunjukkan wajibnya bersiap siaga dan waspada dari serangan musuh dalam segala kondisi dan tidak boleh menyerahkan diri. Karena suatu pasukan tidak akan terkena musibah sama sekali kecuali disebabkan karena kurangnya kewaspadaan.” Adh-Dhahhak mengatakan, “Dalam firman Allah Ta’ala (siap siagalah kamu) maksudnya adalah bawalah pedang-pedang kalian, karena itu adalah sikap para agressor.” Selesai perkataan Al-Qurthubi rahimahullah.
Bertakwalah wahai para mujahidin. Jangan sembunyikan senjata kalian karena kalian berada dalam jihad. Membawa senjata adalah fardhu ‘ain atas kalian. Bersiap siaga demi jihad wajib di setiap saat. Sebagaimana jatuhnya seorang mujahid dalam tawanan adalah karena sebab meninggalkan senjatanya dengan alasan demi factor keamanan. Seorang mujahid harus membawa senjata yang bobotnya ringan tapi berfaidah besar semisal sabuk yang berisi granat tangan dan senapan mesin yang ringan.
Kedua, Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Duhai seandainya ada seorang sahabatku yang shalih menjagaku malam ini.” Dalam hadits ada peringatan atas urgensi dan keutamaan berjaga-jaga. Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhma berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua mata yang tidak disentuh api neraka: pertama, mata yang menangis karena takut kepada Allah, kedua, mata yang tidak tidur berjaga-jaga di jalan Allah.” Al-Hakim meriwayatkan, Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِلَيْلَةٍ أَفْضَلَ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ حَارِسٌ حَرَسَ فِي أَرْضِ خَوْفٍ لَعَلَّهُ أَنْ لاَ يَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ
“Maukah kalian saya beri tahu suatu malam yang lebih utama daripada malam lailatul qodar, yaitu suatu malam yang dilalui oleh seseorang yang berjaga-jaga di negeri yang diselimuti ketakutan, yang bisa jadi ia tidak akan kembali ke keluarganya.”
Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu berkata, Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
حَرَسُ لَيْلَةٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ لَيْلَةٍ يُقَامُ لَيْلُهَا وَيُصَامُ نَهَارُهَا
“Berjaga-jaga di suatu malam di jalan Allah Ta’ala lebih utama daripada seribu malam yang dihidupkan dengan shalat malam (qiyamullail) dan siangnya untuk berpuasa.”
Imam Ahmad meriwayatkan, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَرَسَ مِنْ وَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مُتَطَوِّعًا لَا يَأْخُذُهُ سُلْطَانٌ لَمْ يَرَ النَّارَ بِعَيْنَيْهِ إِلَّا تَحِلَّةَ الْقَسَمِ فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ { وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا }
“Barang siapa suka rela berjaga-jaga di belakang kaum Muslimin di jalan Allah Tabaroka wa Ta’ala maka ia tidak akan melihat neraka dengan kedua matanya kecuali hanya sebentar saja (selama waktu Allah menebus sumpah). Karena sesungguhnya Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman, “Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu[6].”
Dalam Shahih Bukhari, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
طُوبَى لِعَبْدٍ آخِذٍ بِعِنَانِ فَرَسِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَشْعَثَ رَأْسُهُ ، مُغْبَرَّةً قَدَمَاهُ ، إِنْ كَانَ فِي الْحِرَاسَةِ ، كَانَ فِي الْحِرَاسَةِ ، وَإِنْ كَانَ فِي السَّاقَةِ كَانَ فِي السَّاقَةِ ، إِنِ اسْتَأْذَنَ ، لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ ، وَإِنْ شَفَعَ ، لَمْ يُشَفَّعْ
“Berbahagialah seorang hamba yang mengambil kendali kudanya di jalan Allah, kepalanya kusut, telapak kakinya berdebu, jika diperintahkan untuk berjaga-jaga ia akan berjaga-jaga, jika diperintahkan di posisi belakang ia akan berada di belakang. Jika minta izin tidak diizinkan dan jika meminta pertolongan tidak diberi pertolongan."
Apabila ada dua mujahid atau lebih yang tidur, hendaknya ada yang bertugas berjaga-jaga dengan saling bergiliran. Apabila dua orang, yang satu tidur maka temannya berjaga-jaga. Ini adalah sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kondisi perang dan jihad. Karena inilah Islam mengarahkan untuk bersegera tidur setelah shalat isya, tidak menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal yang tidak berfaidah. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membenci ngobrol setelah shalat isya.
Ada riwayat menyebutkan bahwa Umar radhiyallahu 'anhu biasa memukul orang karena ia ngobrol setelah shalat isya. Ia berkata, “Kalian begadang di awal malam tapi di akhir malam malah tidur!”
Tidak diragukan lagi bahwa berjaga-jaga di jalan Allah adalah substansi ribath. Ribath sendiri adalah berjaga-jaga di suatu tempat yang Anda takutkan musuh akan menyerangnya dan Anda mengkhawatirkannya.
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَصِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ أُجْرِيَ عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّان
“Ribath sehari semalam di jalan Allah lebih baik daripada puasa dan shalat malam sebulan penuh. Jika ia mati, amalan yang biasa ia lakukan dan rizkinya akan dialirkan kepadanya serta diselamatkan dari fitnah kubur.”
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
رِبَاطُ يَوْمٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا
“Ribath sehari di jalan Allah lebih baik daripada dunia seisinya.”
Oleh karena itu, wahai muwahhid jangan Anda anggap remeh menjaga dirimu sendiri dan suadara-saudaramu. Kita telah ketahui akibat meremehkan masalah berjaga-jaga ini dan efek yang ditimbulannya berupa bala ujian dan musibah bencana. Bertakwalah kepada Allah wahai para hamba Allah, janganlah kalian sia-siakan sunnah Rasulullah.
[1] Dalam riwayat lain disebutkan "tidak ada yang akan membuat kalian takut", sebagaimana yang terdapat dalam Al-Baihaqi, maksudnya adalah tidak ada sesuatu yang menakutkan dan membahayakan kalian. Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Hadits tersebut menunjukkan bolehnya seseorang mencari tahu berita musuh sendirian selama itu, kemunkinan besar, tidak akan menyebabkan kebinasaannya."
[2] QS. Al-Maidah (5): 67.
[3] QS. Al-Maidah (5): 67.
[4] QS. An-Nisa’ (4): 102.
[5] QS. An-Nisa’ (4): 102.
[6] QS. Maryam [19]: 71
Posted by Knights Of Masjid
on 12:58 PM. Filed under
ketatanegaraan islam,
siyasah
.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0.
Feel free to leave a response