Cerpen : HADIAH UNTUK NISA
Senja itu, Zaky masih saja terdiam dalam lamunannya melupa
kan coretan-coretan jingga di langit, sedikit demi sedikit matanya mulai membuat aliran sungai yang terus melaju dengan derasnya seperti dataran kering yang diisi air. Pikirannya pun dibaluti banyak lipatan demi lipatan ingatan yang pernah dirasakannya.
Ia seperti seperti terhipnotis di dalam masa lalunya yang baginya penuh dengan kebahagiaan. Ia sedikit sadar bahwa dirinya sedang berada di kursi tunggu pasien RS. Islam Sukamaju, rumah sakit besar dengan segala peralatan canggihnya. Secanggih apapun ia bukanlah Tuhan yang Maha Perkasa, ia tetaplah suatu bangunan buatan hamba-hambaNya yang suatu saat akan hancur menemui takdirnya.
Pikirannya masih menggelayut memikirkan Nisa, panggilan akrab gadis mungil berjilbab yang sedari kecil sudah dikenalnya sejak sama-sama berlajar di Taman Pendidikan Al-Qur’an anak-anak. Sudah seminggu Siti Anisa terbaring koma di rumah sakit, diagnosa dokter Nisa terkena kanker darah.
Zaky tetap setia menunggunya di depan pintu kamar Anggrek no, 607, baginya Nisa adalah wanita special yang pernah hadir mengisi perasaannya dan saling brjanji akan menunggu. Semenjak Nisa menolak lamarannya tanpa alasan yang jelas, Zaky menjadi sosok yang sulit diajak bicara, batinnya sangat sesak dan terasa pedih seperti kepulan asap kobaran api yang menyentuh mata.
Tiba-tiba ia terjaga dari lamunannya. “Makan dulu Zak,” sapa pak Darsim, ayah kandung Nisa. “Iya pak, masih kenyang.” Jawabnya lirih.
“Kalau sudah capek, pulang saja Zak, biar saya dan ibu yang disini.”,
“tidak pak, biar saya disini sampai Nisa sadar.”
"kreeeekk." Suara pintu kamar yang dibuka dari dalam membuat semuanya menjadi berdiri kokoh bak menara tinggi yang menjulang siap mendengarkan setiap kalimat yang akan diucapkan oleh sang dokter.
“Orang tuanya Nisa ?”, “Saya pak, saya..” jawab pak Darsim, “mari pak ikut saya,” mereka berdua berjalan bagaikan dua orang sahabat dekat yang tengah membicarakan suatu hal yang sangat rahasia. Sedangkan ibu Nurma, ibu kandung Nisa hanya terlihat penasaran penuh harap.
Hanya diam dan saling berpandangan antara Zaky dan bu Nurma dalam kepergian pak darsim bersama sang dokter.
Tak lama kemudian, pak Darsim datang menghampiri mereka bertiga yang sedari kepergiannya dengan sang dokter membuat mereka harap-harap cemas. “apa katanya ?” tanya bu Nurma kepada suaminya yang terlihat lesu.
“Kita harus cari ginjal, karena ginjalnya mengalami kerusakan.” Sontak mendengar berita itu, bu Nurma mendadak terduduk di atas bangku dan berdiri kembali, segera masuk ke kamar yang di dalamnya terdapat anaknya yang sedang berada entah di alam apa namanya.
“pak, pakai ginjal saya saja pak..” pak Darsim terdiam mendengar kalimat yang diucapkan oleh Zaky di luar kamar yang dihuni oleh Nisa saat ini, kemudian pak Darsim memeluknya secara tiba-tiba sambil meneteskan air matanya yang agak sulit menetes semenjak Nisa masuk rumah sakit.
------------
Detik jam terus berganti, waktu pun ikut menggulung hari menjadi sebuah sejarah baru. Tepat bersamaan dengan hari kelahirannya yang ke-24, Nisa dikeluarkan dari ruangan dan kasur nya pun mulai diarahkan ke ruangan operasi, ruangan dimana terdapat banyak jiwa yang mlepaskan ruhnya untuk pergi menuju Rabbnya.
“Muhammad Zaky”, panggilan suster dengan penampilan misterius ber-masker dan lengkap dengan pakaian bedahnya membangunkan Zaky dari lamunannya. Dengan langkah pasti dan penuh harap ia mulai masuk . Ia melihat Nisa yang begitu pucat, hatinya sakit, kelu dan pedih. Ingin segera melihat Nisa sadar.
Tibalah waktunya Zaky untuk diberikan pengarahan oleh para dokter bedah. Dalam hatinya terus berdzikir dan berdoa,
“Yaa Rabb, jika hamba tidak Engkau ridhai bersamanya, biarkan segumpal daging ini saja yang ikut bersamanya. Aku mencintainya karenaMu yaa Rabb. Maka perkenankanlah doaku, karena rasa cintaku ini kepada hambaMu yang shalihah.”
Ia pun menutupkan matanya, sambil terus memeluk erat perasaan cintanya yang begitu dalam kepada Nisa. Meski Nisa menolaknya tanpa alasan yang bisa dijelaskan.
-------------------
Waktu terus bergulir, mentari pun datang dan berlalu, Nisa sudah sadar dan mulai bisa memasukkan asupan-asupan gizi secara normal, entah mengapa pikirannya teringat dengan Zaky, seorang pria yang sangat ia kenal dan pernah mencoba melamarnya untuk dijadikan istrinya. “Ada apa ini?” gumamnya.
Disaat itulah ayahnya harus mengatakan yang sebenarnya, dan tidak boleh ada yang ditutup-tutupinya. “Nisa, kemarin Zaky kesini, nengok kamu, tapi kamu masih belum sadar.” “Terus kemana dia?”. Ssaat kemudian, air mata ayahnya keluar membasahi pipi yang sudah agak keriput dimakan usia itu.
“Dia yang mendonorkan ginjal untuk kamu.”
“benar pah ? dia sekarang kemana ? pulang ?”
“Dia sudah tenang pulang ke pangkuan Allah Ta’ala.” (SAF)