Catatan Dari Penjara Seri 13 : Dinul Islam Wajib Diamalkan Secara Berjamaah Dengan kekuasaan politik yang sistemnya Khilafah
Dinul Islam Wajib Diamalkan Secara Berjamaah Dengan kekuasaan politik yang sistemnya Khilafah
Catatan dari penjara seri 13 redaksi menampilkan tulisan ustad Abu Bakar Ba’asyir yang menguraikan tentang bagaimana dinul islam wajib diamalkan secara berjamaah dengan kekuasaan politik yang sistemnya Khilafah.
Selamat Menyimak (from : saveabb.com/red)
DINUL ISLAM WAJIB DIAMALKAN SECARA BERJAMAAH / DENGAN KEKUASAAN POLITIK YANG SISTEMNYA KHILAFAH
Pengamalan Dinul Islam secara bersih dan Kaaffah seperti yang telah diterangkan dalam pembahasan sebelumnya tidak mungkin dapat menjadi kenyataan apabila tidak ada kekuasan politik yang berasaskan Al Quran dan Sunnah yang mengawalnya. Kalau tidak dan Dinul Islam hanya diamalkan secara perorangan atau kelompok, hal ini tidak mungkin bisa mewujudkan cita-cita pengamalan Dinul Islam secara bersih dan Kaaffah sebab perorangan atau kelompok umat Islam hidupnya kalau tidak dibawah kekuasaan Khilafah pasti tunduk di bawah kekuasaan lain yang mengusainya baik kekuasaan Kafir atau kekuasaan kaum Sekuler.
Kedua macam penguasa ini tidak akan mengizinkan Umat Islam mengamalkan Syariat Islam secara bersih dan Kaaffah. Mereka pasti akan menghalanginya bahkan membelokkannya kearah kemusyrikan, bid’ah dan kemurtadan.
Kandungan Syariat Islam adalah meliputi seluruh aspek kehidupan, baik aspek pribadi, keluarga masyarakat dan negara. Syariat Islam semacam ini adalah merupakan konstitusi untuk mengatur kehidupan yang pengamalannya menuntut adanya kekuasaan (institusi) yang berdasarkan Al Quran dan Sunnah di tangan umat Islam meskipun rakyatnya terdiri dari berbagai kaum dan kepercayaan (pluralitas).
Pengamalan Dinul Islam dengan sistem kekuasaan / pemerintahan dalam bentuk Khilafah adalah telah dicontohkan oleh Rasululah SAW dan diikuti oleh para sahabat terutama Khulafah Rasyidin serta umat Islam yang hidup sesudahnya hingga tahun 1924.
Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, Baginda SAW memproklamirkan Daulah Islamiyah berasaskan Al Quran dan Sunnah, hukum positif yang berlaku adalah Syariat Islam secara Kaaffah meskipun rakyatnya terdiri dari kaum Muslimin, kaum Musyrik, bangsa Arab dan ahli kitab bangsa Yahudi.
Setelah baginda SAW wafat Daulah Islamiyah yang telah diasaskan oleh Rasulullah SAW dilanjutkan oleh para sahabatnya dan umat Islam setelahnya. Dan sejak itu berdirilah kekuasaan Islam dengan kukuh yang dinamakan kekhilafahan, pada saat itu umat Islam menguasai sebagian besar bumi Allah SWT yang diurus dengan undang-undang Islam secara sempurna, maka tersebarlah keadilan dimana-mana, kemakmuran, keamanan, dan barokah turun dari langit dan bumi meliputi penduduk bumi.
Umat Islam hidup dengan penuh kemuliaan, ketenteraman dan kebahagiaan dan orang-orang kafir yang tunduk dibawah kekuasaan Khilafah juga ikut menikmati keadilan ketenteraman dan kemakmuran..
Tauhid dan Hukum Islam tegak dengan jayanya dan Dinul Islam bertapak dengan kukuhnya, sehingga tiada seorangpun yang berani mengganggunya, ini sesuai dengan janji Allah SWT yang dijanjikan kepada orang-orang berIman dan beramal saleh dalam firman-Nya:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang–orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah di ridhoi Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepadaKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (An Nuur : 55)
Karena pentingnya fungsi pemerintahan untuk mengamalkan Dinul Islam secara bersih dan sempurna, maka Allah SWT dan Rasul Nya memerintahkan agar umat Islam hidup bersatu di bawah satu pimpinan dan berpegang teguh dengan tali Allah SWT (Al Quran dan Sunnah).
Allah SWT berfirman:
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara, kamu telah berada ditepi jurang neraka lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (Aali Imraan : 103)
Imam At Thobari dalam tafsirnya menerangkan ayat tersebut diatas dengan katanya: “Berpeganglah kamu sekalian kepada Dinullah yang kamu telah diperintahkan dengannya dan kepada perjanjian-Nya kepada kamu dalam kitab Nya, yakni agar kamu bersatu diatas kalimah yang Haq dan menyerah kepada perintah Allah”. (Tafsir At Thobari : 2/289)
Keterangan Imam At Thobari itu dapat disimpulkan bahwa dalam mengamalkan kalimatul Haq (Dinul Islam) dan mentaati kalimat Allah SWT, harus dalam keadaan bersatu atau berjamaah di bawah satu pimpinan bukan dalam keadaan bercerai berai.
Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat: “Walaa Ta faroqu”, (yang artinya janganlah kamu bercerai berai). Beliau mengatakan, bahwa Allah SWT memerintahkan mereka berjamaah dan melarang mereka bercerai berai. (Mukhtasor Ibnu Katsir : 1/305).
Dari keterangan kedua ahli tafsir tersebut diatas, kita dapat mengambil pelajaran penting yakni bahwa pengamalan Dinul Islam secara ideal harus dengan sistem berjamaah bukan sendiri-sendiri atau berkelompok-kelompok apalagi bercerai berai dan bukan pula dengan sistem pemerintahan yang berasas demokrasi dan nasionalisme.
Yang dimaksud dengan berjamaah adalah berdaulah Islamiyah, yakni Khilafah yang membawahi berbagai bangsa yang disatukan dengan kalimat tauhid bukan dengan kebangsaan, bahasa atau warna kulit, dan kekuasaan Khilafah itu asasnya Al-Quran dan Sunnah dan hukum positifnya adalah Syariat Islam secara Kaaffah seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah sampai Baginda SAW wafat yang selanjutnya di amalkan oleh para sahabatnya dan umat Islam setelahnya.
Jadi pengamalan Dinul Islam secara berkhilafah adalah merupakan Sunnah Nabi SAW yang wajib diusahakan pengamalannya.
Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya” (An Nisaa’ : 59)
Keterangan:
Dalam ayat tersebut diatas Allah SWT memerintahkan agar semua orang yang berIman taat kepada Allah SWT dan taat kepada Rasulullah SAW serta kepada ulil amri dari kalangan mereka, yakni dari kalangan orang beriman.
Menurut Imam At Thobari, Ulil Amri dalam ayat tersebut diatas pendapat yang tepat adalah “pemimpin pemerintahan” (Tafsir At Thobari : 2/49).
Maka ayat itu dengan tegas menyatakan bahwa kaum Mukminin harus hidup di bawah pimpinan Ulil Amri dari kalangan orang-orang yang berIman. Ini berarti sistem kehidupan umat Islam dalam mengamalkan diennya harus bersatu di bawah kekuasaan Islam yakni Khilafah bukan di bawah pemerintahan yang berasas kebangsaan yang dipimpin oleh orang Kafir atau pemerintahan yang dikuasai kaum Sekuler. Karena Allah SWT memerintahkan mereka hanya taat kepada Allah SWT dan taat kepada Rasulullah SAW serta kepada Ulil Amri dari kalangan mereka (orang-orang berIman) bukan pemerintah diluar kalangan orang-orang berIman, ini jelas menunjukkan keharusan wujudnya pemerintahan Islam / Khilafah. Sistem kehidupan masyarakat Islam semacam ini sajalah yang telah diamalkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat Baginda.
Bahkan Rasulullah SAW dengan jelas memerintahkan agar umat Islam hidup berjamaah dalam sabda Baginda SAW:
Catatan dari penjara seri 13 redaksi menampilkan tulisan ustad Abu Bakar Ba’asyir yang menguraikan tentang bagaimana dinul islam wajib diamalkan secara berjamaah dengan kekuasaan politik yang sistemnya Khilafah.
Selamat Menyimak (from : saveabb.com/red)
DINUL ISLAM WAJIB DIAMALKAN SECARA BERJAMAAH / DENGAN KEKUASAAN POLITIK YANG SISTEMNYA KHILAFAH
Pengamalan Dinul Islam secara bersih dan Kaaffah seperti yang telah diterangkan dalam pembahasan sebelumnya tidak mungkin dapat menjadi kenyataan apabila tidak ada kekuasan politik yang berasaskan Al Quran dan Sunnah yang mengawalnya. Kalau tidak dan Dinul Islam hanya diamalkan secara perorangan atau kelompok, hal ini tidak mungkin bisa mewujudkan cita-cita pengamalan Dinul Islam secara bersih dan Kaaffah sebab perorangan atau kelompok umat Islam hidupnya kalau tidak dibawah kekuasaan Khilafah pasti tunduk di bawah kekuasaan lain yang mengusainya baik kekuasaan Kafir atau kekuasaan kaum Sekuler.
Kedua macam penguasa ini tidak akan mengizinkan Umat Islam mengamalkan Syariat Islam secara bersih dan Kaaffah. Mereka pasti akan menghalanginya bahkan membelokkannya kearah kemusyrikan, bid’ah dan kemurtadan.
Kandungan Syariat Islam adalah meliputi seluruh aspek kehidupan, baik aspek pribadi, keluarga masyarakat dan negara. Syariat Islam semacam ini adalah merupakan konstitusi untuk mengatur kehidupan yang pengamalannya menuntut adanya kekuasaan (institusi) yang berdasarkan Al Quran dan Sunnah di tangan umat Islam meskipun rakyatnya terdiri dari berbagai kaum dan kepercayaan (pluralitas).
Pengamalan Dinul Islam dengan sistem kekuasaan / pemerintahan dalam bentuk Khilafah adalah telah dicontohkan oleh Rasululah SAW dan diikuti oleh para sahabat terutama Khulafah Rasyidin serta umat Islam yang hidup sesudahnya hingga tahun 1924.
Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, Baginda SAW memproklamirkan Daulah Islamiyah berasaskan Al Quran dan Sunnah, hukum positif yang berlaku adalah Syariat Islam secara Kaaffah meskipun rakyatnya terdiri dari kaum Muslimin, kaum Musyrik, bangsa Arab dan ahli kitab bangsa Yahudi.
Setelah baginda SAW wafat Daulah Islamiyah yang telah diasaskan oleh Rasulullah SAW dilanjutkan oleh para sahabatnya dan umat Islam setelahnya. Dan sejak itu berdirilah kekuasaan Islam dengan kukuh yang dinamakan kekhilafahan, pada saat itu umat Islam menguasai sebagian besar bumi Allah SWT yang diurus dengan undang-undang Islam secara sempurna, maka tersebarlah keadilan dimana-mana, kemakmuran, keamanan, dan barokah turun dari langit dan bumi meliputi penduduk bumi.
Umat Islam hidup dengan penuh kemuliaan, ketenteraman dan kebahagiaan dan orang-orang kafir yang tunduk dibawah kekuasaan Khilafah juga ikut menikmati keadilan ketenteraman dan kemakmuran..
Tauhid dan Hukum Islam tegak dengan jayanya dan Dinul Islam bertapak dengan kukuhnya, sehingga tiada seorangpun yang berani mengganggunya, ini sesuai dengan janji Allah SWT yang dijanjikan kepada orang-orang berIman dan beramal saleh dalam firman-Nya:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang–orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah di ridhoi Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepadaKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (An Nuur : 55)
Karena pentingnya fungsi pemerintahan untuk mengamalkan Dinul Islam secara bersih dan sempurna, maka Allah SWT dan Rasul Nya memerintahkan agar umat Islam hidup bersatu di bawah satu pimpinan dan berpegang teguh dengan tali Allah SWT (Al Quran dan Sunnah).
Allah SWT berfirman:
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara, kamu telah berada ditepi jurang neraka lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (Aali Imraan : 103)
Imam At Thobari dalam tafsirnya menerangkan ayat tersebut diatas dengan katanya: “Berpeganglah kamu sekalian kepada Dinullah yang kamu telah diperintahkan dengannya dan kepada perjanjian-Nya kepada kamu dalam kitab Nya, yakni agar kamu bersatu diatas kalimah yang Haq dan menyerah kepada perintah Allah”. (Tafsir At Thobari : 2/289)
Keterangan Imam At Thobari itu dapat disimpulkan bahwa dalam mengamalkan kalimatul Haq (Dinul Islam) dan mentaati kalimat Allah SWT, harus dalam keadaan bersatu atau berjamaah di bawah satu pimpinan bukan dalam keadaan bercerai berai.
Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat: “Walaa Ta faroqu”, (yang artinya janganlah kamu bercerai berai). Beliau mengatakan, bahwa Allah SWT memerintahkan mereka berjamaah dan melarang mereka bercerai berai. (Mukhtasor Ibnu Katsir : 1/305).
Dari keterangan kedua ahli tafsir tersebut diatas, kita dapat mengambil pelajaran penting yakni bahwa pengamalan Dinul Islam secara ideal harus dengan sistem berjamaah bukan sendiri-sendiri atau berkelompok-kelompok apalagi bercerai berai dan bukan pula dengan sistem pemerintahan yang berasas demokrasi dan nasionalisme.
Yang dimaksud dengan berjamaah adalah berdaulah Islamiyah, yakni Khilafah yang membawahi berbagai bangsa yang disatukan dengan kalimat tauhid bukan dengan kebangsaan, bahasa atau warna kulit, dan kekuasaan Khilafah itu asasnya Al-Quran dan Sunnah dan hukum positifnya adalah Syariat Islam secara Kaaffah seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah sampai Baginda SAW wafat yang selanjutnya di amalkan oleh para sahabatnya dan umat Islam setelahnya.
Jadi pengamalan Dinul Islam secara berkhilafah adalah merupakan Sunnah Nabi SAW yang wajib diusahakan pengamalannya.
Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya” (An Nisaa’ : 59)
Keterangan:
Dalam ayat tersebut diatas Allah SWT memerintahkan agar semua orang yang berIman taat kepada Allah SWT dan taat kepada Rasulullah SAW serta kepada ulil amri dari kalangan mereka, yakni dari kalangan orang beriman.
Menurut Imam At Thobari, Ulil Amri dalam ayat tersebut diatas pendapat yang tepat adalah “pemimpin pemerintahan” (Tafsir At Thobari : 2/49).
Maka ayat itu dengan tegas menyatakan bahwa kaum Mukminin harus hidup di bawah pimpinan Ulil Amri dari kalangan orang-orang yang berIman. Ini berarti sistem kehidupan umat Islam dalam mengamalkan diennya harus bersatu di bawah kekuasaan Islam yakni Khilafah bukan di bawah pemerintahan yang berasas kebangsaan yang dipimpin oleh orang Kafir atau pemerintahan yang dikuasai kaum Sekuler. Karena Allah SWT memerintahkan mereka hanya taat kepada Allah SWT dan taat kepada Rasulullah SAW serta kepada Ulil Amri dari kalangan mereka (orang-orang berIman) bukan pemerintah diluar kalangan orang-orang berIman, ini jelas menunjukkan keharusan wujudnya pemerintahan Islam / Khilafah. Sistem kehidupan masyarakat Islam semacam ini sajalah yang telah diamalkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat Baginda.
Bahkan Rasulullah SAW dengan jelas memerintahkan agar umat Islam hidup berjamaah dalam sabda Baginda SAW:
“ ... dan saya perintahkan kamu sekalian untuk mengamalkan lima perkara yang Allah SWT telah memerintahkan kepada saya untuk mengamalkannya, yaitu: Berjamaah, mendengar, mentaati, berhijrah dan berjihad. Dan sesungguhnya barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal maka benar-benar ia telah melepaskan tali Islam dari lehernya kecuali ia kembali ... “ (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Keterangan:
Yang dimaksud berjamaah dalam hadist tersebut diatas ialah hidup di dalam kekuasaan Khilafah. Bahkan meskipun belum ada khilafah umat Islam wajib berusaha hidup berjamaah yang dipimpin oleh seorang amir dan mengamalkan syariat Islam semampunya.
Hidup berjamaah ini telah diamalkan oleh Nabi SAW di Madinah dalam bentuk pemerintahan Islam (Daulah Islamiyah). Dalam hadist ini Nabi SAW mengancam kepada umat Islam yang keluar dari jamaah umat Islam (Khilafah) maka berarti dia telah melepaskan tali ikatan Islam dari lehernya. Maka jelas bahwa hadist ini merupakan salah satu dalil yang tegas menunjukkan bahwa umat Islam wajib hidup di dalam sistem Khilafah kalau belum mampu wajib berjuang untuk mewujudkannya. Siapa yang menolak kewajiban ini berarti dia telah menolak perintah Allah SWT dan perintah Nabi SAW. Orang semacam ini wajib dilawan tidak boleh dibiarkan.
Lebih jelas lagi dalam menerangkan hal ini Nabi SAW bersabda:
“Barang siapa yang melepaskan tangan ketaatan maka ketika ia bertemu Allah pada hari kiamat ia tidak mempunyai Hujjah dan barang siapa yang mati sedang di lehernya tidak ada ikatan bai’ah (kepada khalifah) ia mati sebagai mati jahiliah” (HR Muslim)
Keterangan:
Hadist tersebut diatas juga dengan jelas dan tegas menerangkan wajibnya mewujudkan Khilafah dan orang-orang Islam yang lehernya tidak terikat oleh bai’ah kepada Khalifah maka bila keadaan itu berterusan sampai mati tanpa ada usaha maka ia mati Jahiliah.
Menurut Imam Nawawi (pensyarah kitab Sahih Muslim) mati Jahiliah yang disebut dalam Hadist ini berarti mati dalam keadaan maksiat bukan mati Kafir. Ancaman Rasulullah SAW ini menunjukkan betapa pentingnya fungsi Khilafah karena memang harus begitulah pengamalan Dinul Islam secara sempurna. Maka bila tanpa Khilafah pengamalan Dinul Islam tidak akan sempurna seperti yang dikehendaki oleh Allah SWT. Maka berjuang menegakkan Dinul Islam berarti keharusan menegakkan kekuasaan Islam / Khilafah. Dinul Islam tidak akan tegak selamanya tanpa tegaknya Khilafah bahkan hukum Islam akan pupus satu persatu sampai Shalatpun akhirnya juga terancam.
Hal ini diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam sabda Beliau:
“Ikatan Islam akan dilepas satu persatu, apabila lepas satu ikatan manusia (umat Islam) bergantung kepada ikatan berikutnya. Ikatan yang pertama kali lepas adalah hukum (Syariat) dan yang terakhir adalah shalat”. (HR Ahmad)
Keterangan:
Hadist tersebut diatas memberikan keterangan lebih jelas lagi bahwa apabila Khilafah Islamiyah runtuh dari tangan kaum Muslimin, maka akan terkikislah Syariat Islam satu demi satu yang akhirnya shalatpun akan ikut terkikis sehingga Islam hanya tinggal namanya saja, karena kaum Muslimin hidup di bawah kekuasaan kafir atau kekuasaan kaum Sekuler.
Umar bin Khatab r.a. pernah berkata: “Tidak sempurna Islam kecuali dengan berjamaah dan tidak ada jamaah kecuali dengan pimpinan dan tidak ada pimpinan kecuali dengan ketaatan”.
Perkataan Umar ini memberikan pengertian bahwa Dinul Islam hanya akan menjadi sempurna pengamalan dan peranannya bila diamalkan dengan sistem Jamaah (Khilafah). Dibawah kepemimpinan yang ditaati.
Utsman bin Affan r.a. berkata: “Sesungguhnya Allah benar-benar telah mencegah pelanggaran Syariat dengan pemerintahan yang pelanggaran Syariat itu kadang-kadang tidak dapat dicegah dengan Al Quran”.
Keterangan:
Maksud perkataan Usman r.a. diatas adalah bahwa suatu pelanggaran Syariat akan mudah dicegah kalau ada kekuasaan yang kadang-kadang pencegahan pelanggaran semacam ini tidak dapat dilakukan hanya dengan diterangkan dan dinasehati dengan ayat-ayat Al Quran saja.
Contohnya: Kewajiban membayar zakat jika perkara ini hanya didorong dengan menerangkan ayat-ayat Al Quran saja maka tidak semua orang Islam mentaati membayar zakat, ada saja yang berani melanggar kewajiban ini. Tetapi apabila ada Khilafah yang mengatur pelaksanaan Syariat ini maka akan lebih teratur dan orang tidak berani mengabaikan kewajiban ini karena takut akan menerima hukuman dari penguasa.
Maka jelaslah tanpa keraguan sedikitpun bahwa mewujudkan Daulah Islamiyah / Khilafah adalah merupakan salah satu kewajiban pokok umat Islam. Perkara yang penting ini harus dipahami dan disadari oleh umat Islam. Apabila perkara yang penting ini tidak dihiraukan umat Islam pasti akan terus menerus hidup dalam kehinaan ketakutan, perpecahan dan kelemahan.
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu